[Lyric] RHEDORIC – New Days

 

Ini pertama kalinya saya posting lirik lagu Jepang. Semata karena baru kali ini saya berhasil meromajikan sendiri lirik lagunya gyahahaha.. Sekarang lagi suka banget sama band indie asal Tokyo ini. Tapi yaa, namanya band indie, belom banyak penggemarnya disini. Nyari blog yang posting lirik lagunya juga gak ketemu T^T

Semoga yang ini bisa membantu kalian-kalian yang kebetulan juga suka RHEDORIC hihi..

 

rhedoric-all

_____

RHEDORIC

New Days

Album Garyou Tensei [画竜点睛]

Mukashi naritakatta mono wo
Ima mo mada oboeteru
Oku ga egaita yume wa
Ima jya chigau kedo

Hey hey groovin’ let it go
Enjoy now dont stop let it go
Hey hey groovin’ let it go
Enjoy us get up let it go
Hey hey groovin’ let it go
Enjoy now dont stop let it go
Hey hey groovin’ let it go
Soredemo arata na yume ga aru ara

Hello reach for the sky
Hello make a dreams come true
Good bye put the past behind
So let it go
Hello reach for the sky
Hello make a dreams come true
Good bye put the past behind
So let it go
Ima no boku dakara koso sa
Daiji na new story
It’s forever ue o muite ikou

Ano hi te ni shita globe
Ima wa tada kazaru dake
Nandomo nigitta ball wa
Heya no katasumi he

Hey hey groovin’ let it go
Enjoy now dont stop let it go
Hey hey groovin’ let it go
Enjoy us get up let it go
Hey hey groovin’ let it go
Enjoy now dont stop let it go
Hey hey groovin’ let it go
Soredemo arata na tabi ga aru ara

Hello reach for the sky
Hello make a dreams come true
Good bye put the past behind
So let it go
Hello reach for the sky
Hello make a dreams come true
Good bye put the past behind
So let it go
Ima no boku dakara koso sa
Daiji na new story
It’s forever ue o muite ikou

Lalalalalalala

Hello reach for the sky
Hello make a dreams come true
Good bye put the past behind
So let it go
Hello reach for the sky
Hello make a dreams come true
Good bye put the past behind
So let it go
Kako no boku ni mo kikasetai
Daiji na new story
I’m not alone, together with you
Ima no boku dakara koso sa
Daiji na new story
It’s forever ue o muite ikou

 

*****

[Ficlet] Belle Of The Boulevard : Shou (Part II)

 

Fandom : Alice Nine

Genre : General

Warning : OOC, AU, bromance

Rating : PG+17

_____

vlcsnap-2011-08-20-00h23m54s65

_____

            Shou menyembulkan senyumannya, saat menyadari pria tinggi itu menatapnya dengan ekspresi kaget. Tidak heran, siapa yang tidak akan kaget saat mendengar suara laki-laki yang keluar dari mulut sesosok wanita cantik lengkap dengan dandanannya. Biasanya Shou tidak pernah mengacuhkan reaksi seperti itu. Tapi dia tidak tahan untuk tidak tersenyum kepada pria itu. Shou lalu mengucapkan selamat malam kepada Chiharu, dan mengerling sekali lagi ke arah pria itu saat berjalan keluar dari konbini. Pria muda berambut hitam setengkuk yang wajahnya seperti seorang gaijin. Memorinya melayang ke beberapa bulan belakangan.

Shou sering melihatnya mengamen, suaranya berat dan serak tapi sangat bertenaga. Pria itu sering menyanyikan lagu-lagu yang menjadi favoritnya sehingga Shou acapkali berhenti dalam perjalanannya ke tempat kerja, untuk mendengarkan nyanyian pria itu dan ikut bernyanyi, saat terkadang suara pria itu membiusnya Membuat Shou melupakan sekelilingnya dan membayangkan dirinya lah yang menjadi pusat perhatian, di atas sebuah panggung raksasa lengkap dengan band-nya. Impiannya yang tidak akan pernah jadi kenyataan.

Dia sangat ingin mewujudkan mimpinya menjadi penyanyi, seorang vokalis sebuah band yang keren dan digilai gadis-gadis. Tapi peruntungannya yang buruk membuatnya malah digilai oleh pria-pria. Kecelakaan yang merenggut kedua orang tua nya mengirimkan adik satu-satunya ke rumah sakit jiwa karena depresi. Hiroto adalah kesayangan orang tua mereka. Shou juga menyayanginya. Lebih karena jarak umur mereka yang terpaut cukup jauh, membuat Shou tidak bisa membenci Hiroto yang mendapatkan limpahan kasih sayang berlebih. Terlebih lagi dia adik yang manis dan penurut. Dan guncangan mental yang dialami Hiroto karena kehilangan kedua orang tua membuatnya menjadi penghuni sanatorium hingga saat ini. Sudah satu tahun lebih.

Shou yang baru saja menjadi mahasiswa harus mengubur keinginannya untuk melanjutkan pendidikan. Biaya kuliah sangat mahal, dan orang tua mereka tidak meninggalkan banyak simpanan atau properti, karena mereka memang hanya keluarga kalangan menengah ke bawah. Ditambah lagi dengan keadaan Hiroto yang membutuhkan perawatan. Shou sudah mencoba untuk merawat Hiroto di rumah. Tapi setelah percobaan bunuh dirinya yang kedua, Shou memutuskan untuk mengirim Hiroto ke sanatorium, karena dia tidak akan bisa menanggungnya jika harus kehilangan adiknya juga.

Saat itulah pilihan hidup yang sulit dan kenyataan pahit mengirimnya kepada nasib yang tidak akan pernah dia bayangkan sebelumnya. Menjadi gadis kyabakura. Hal yang bahkan tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya. Shou sudah mencoba sangat keras untuk mengumpulkan uang, dengan dua sampai tiga arubaito. Tapi biaya perawatan Hiroto yang sangat mahal ditambah sewa apartemen bobrok mereka yang cukup tinggi membuatnya putus asa dengan pendapatan yang tidak pernah memadai.

Dan datanglah Tuan Saga, tetangga satu kompleks apartemennya. Menawarkan Shou sebuah pekerjaan yang akan menghasilkan uang banyak dengan tubuhnya yang semampai dan bodyline halus seperti perempuan, sehingga Shou bisa hidup lebih nyaman bahkan dengan biaya untuk Hiroto. Shou tersenyum getir saat mendengar tawaran dari Tuan Saga. Dan senyum Shou berubah pahit saat menyadari betapa cepatnya dia menerima tawaran tersebut.

***

            Di saat-saat terberat hidupnya yang mencoba membiasakan diri dengan pekerjaan baru nya, Shou seakan menemukan oase-nya. Pekerjaannya berakhir lebih dari sekedar menjadi kyabajyo palsu. Mama-san bilang, karena Shou adalah kasus istimewa, maka ada beberapa pekerjaan “luar ruangan” yang harus dia ambil, tidak seperti perempuan-perempuan lain yang bekerja disitu. Dan Shou mau tak mau harus menerimanya walaupun jijik.

Setelah sekali waktu tidak sengaja melihat pertunjukan jalanan pria gaijin itu, segala kegetiran yang menyelimutinya karena pekerjaannya yang harus menemani pria-pria kesepian yang haus akan belaian seakan lenyap. Setiap kali Shou mendengar nyanyian pria itu, hatinya merasa damai. Suara Gaijin-san menentramkan dan menguatkan hatinya. Membuat Shou mengingat-ingat kembali masa-masa kuliahnya. Saat itu dia baru saja berencana membentuk sebuah band. Bersama seorang teman SMA nya, mereka sedang mencari orang untuk posisi gitar dan bass. Mereka bahkan pernah beberapa kali mencoba mengamen di dekat kampus dan mendapatkan beberapa fans gadis-gadis teman sekelasnya. Pernah Shou berpikir bahwa jika pria itu bergabung dengannya dan Nao, mereka pasti akan jadi band yang hebat……

“Kikyou-chan~! Akhirnya kau kembali juga. Tanaka-san sudah menunggumu di meja 17, cepatlah temui dia ya~ Sepertinya dia lagi senang, kau mungkin akan dapat banyak malam ini” cengir Kiyoka, Mama-san di kyabakura tersebut. Gadis lain mungkin sudah dibentak karena meninggalkan klub saat jam buka. Tapi Shou adalah kesayangan Kiyoka.

Shou tidak menjawab. Dia masih saja bergidik setiap kali mendengar nama panggilannya itu.

 

*****

note :

gaijin : orang asing

kyabakura : singkatan dari cabaret club (hostess club)

arubaito : pekerjaan paruh waktu

kyabajyo : singkatan dari cabaret jyosei ( cabaret girl/hostess)

Beli Kantong Plastik Yuk!!

 

No no, ini bukan kampanye mendukung degradasi lebih lanjut bumi. Ini hanya bentuk sentimen mendadak saya akan pembelian kantong plastik saat belanja seharga 200 rupiah yang dicanangkan pemerintah. Biasanya saya gak ambil pusing. Toh, orang Indonesia khususnya mostly gak ngerasa terancam dengan sampah anorganik yang dihasilkan. Iyalah, belom ngerasain dampak langsungnya sih yaa.. Salah satu tetua saya bilang, gak akan belajar kalo belom mengetahui seperti apa rasanya. Bener sih, dan serem juga. Kayak kalo anak yang bandel disuruh jangan ngebut kalo bawa kendaraan, disuruh patah-patah dulu gitu baru bisa ngerasain gak enaknya efek dari ngebut. Masalahnya, iya kalo cuman patah. Nah kalo sampe menghembuskan nafas terakhir gimana, serem kan..? Ya kesimpulannya, itu pelajaran buat orang tua agar nggak ngebiarin anaknya ngebut di jalanan. Bingung? Gitu deh paradox kehidupan manusia (cieh bahasanya :p)

Oke kembali ke topik! Paradox dalam hal pemakaian kantong plastik nih yang bikin saya geli. Setelah ada peraturan pemerintah mengenai peredaran kantong plastik belanja, sekarang setiap kali belanja bakal dikenai 200 rupiah per kantong plastik. Dengan basic principle-nya sebagai cara untuk mengurangi masalah lingkungan, menurut saya malah gak ada gunanya. Karena peraturannya toh hanya berlaku di supermarket besar dan franchise mini market tertentu saja. Belanja di pasar, warung, mini market lokal mah tetep aja gratis. Kecuali kantong plastik yang dijajakan anak-anak di pasar loh yaa, itu mah malah lebih mahal belinya..hihi.. Kalo mau peredaran kantong plastik jadi benar-benar terbatas, harusnya diberlakukan di semua tempat belanja termasuk warung kecil, dan jangan cuman dihargain 200 perak. 20 ribu gituu, biar ibu-ibu pada ngamuk. Atau 50 ribu sekalian biar bapak-bapaknya yang ngamuk karena jatah beli bensin atau rokoknya terancam berkurang demi satu kantong plastik.

Trus ada yang mikir, ‘Jangankan 50 ribu. 200 perak aja bikin rusuh kok..’. Nah, coba mikirnya diterusin dikit ke bunderan depan situ. Orang disuruh bayar 200 buat kantong plastik trus ngamuk-ngamuk, apalagi kalo mahal kan ya? Iya emang bener. Jiwanya orang Indonesia emang kayak gitu. Pemerintah mau ngajak masyarakat untuk mulai mengurangi kantong plastik? Masalahnya jiwa orang Indonesia nih ya simalakama banget. Dikasih aturan ngamuk-ngamuk, gak ada aturan jadi semena-mena. Disuruh bayar 200 buat kantong plastik ngamuk-ngamuk. Nah yang dimasukin ke kantong plastik seharga 200 perak tuh calon-calon sampah anorganik semua kan ya? Kok gak ngamuk-ngamuk juga suruh ganti kemasannya sama material lain yang ramah lingkungan? (emang ada?)

Jujur aja lah ya, di negara yang masih dalam tahap berkembang ini, kesombongan masih berakar dan berurat. Uang 200 perak mah kecil. Sering dianggap gak bernilai, dicecerin dimana-mana begitu aja. Kalo ada beberapa, ditukerin ke nominal yang lebih gede biar keliatan “duit”nya. Jadi 200 rupiah untuk sebuah kantong plastik ya kayak gitu. Jadinya begitu-begitu aja, gak ada perubahannya. Ah cuman 200 perak kok, bayar aja. Ya kan ya kan? Ya saya juga gitu, karena walopun saya sudah sangat berniat untuk jadi anak baik-baik pecinta lingkungan, niat baik tersebut bertekuk lutut di bawah kendali sifat lupa. #gubrak Dan keistimewaan saya yang satu ini juga yang bikin saya jadi misuh-misuh sama diri saya sendiri dan mendadak sentimen sama aturan 200 rupiah untuk satu kantong plastik. Gara-gara mesti beli kantongnya, lembaran duit dengan nominal gede di tanggal segini jadi pecah!! #gubraklagi

Masalahnya itu adalah ancaman terbesar yang bahkan jauh lebih mengerikan daripada serangan negara api! Duit gede kalo udah pecah tuh yaaa bisa-bisa cuman bertahan beberapa hari! Huks.. *pundung*

Kesimpulannya, pemerintah mestinya jangan tanggung-tanggung kalo mau bikin peraturan. Kalo mesti beli kantong plastik 50 ribu sih, sekali kena aja saya yakin deh gantian lupaan-nya bakal bertekuk lutut. Ah, jangankan 50 ribu ya, 20 ribu aja juga udah cukup menohok kok. Sepelupa-pelupanya, saya gak akan bisa melupakan mirisnya membiarkan lembaran 20 ribu melayang sia-sia. Dan semurka-murkanya ibu-ibu yang cerewet perihal pengeluaran, gak bakal deh mau kena dua kali. Belanja-belanjo berikutnya pasti udah ready tuh self-defence nya. Minimal bawa kantong kresek bekas yang belom sempat dibuang..hihi..
Tapi intinya sih, hindari sifat pelupa dan bawalah selalu kantong belanja sendiri dari rumah #ealahh

[Ficlet] Belle Of The Boulevard : Tora (Part I)

 

Fandom : Alice Nine

Genre : General

Warning : OOC, AU, bromance

Rating : PG+17

a/n : based on Dashboard Confessional’s ‘Belle of The Boulevard’

 

page043

 ______

Tora memantik api dan membakar rokoknya. Udara yang dingin membuat kulitnya meremang dibalik jaket kulit hitam yang setia menemaninya. Malam ini sepi, Tora baru saja selesai menyanyikan lagu yang ke-lima – lagu tentang sosok mengagumkan yang tidak akan tergapai olehnya, yang baru ia ciptakan – karena tidak ada lagi orang yang berlalu lalang. Hujan di penghujung senja sepertinya membuat orang-orang malas keluar rumah, sehingga sisi jalanan tersebut sudah lengang padahal baru lewat sedikit dari pukul 9. Orang-orang yang masih di luar rumah memilih menghangatkan diri di tempat-tempat nongkrong yang tersebar di sepanjang jalan distrik tersebut. Termasuk lorong-lorong sempit tempat rumah minum dan kedai jajanan ringan tersembunyi dari hiruk pikuk arus jalanan, tempatnya sekarang sedang nongkrong di depan sebuah konbini ditemani gitar tuanya dan sebotol air mineral yang tersisa setengah.

Lorong tersebut salah satu yang cukup ramai dilewati orang di hari biasa. Panjangnya hanya beberapa puluh meter namun cukup lebar, dan kedua sisinya disesaki oleh tempat makan, tempat karaoke, bar, bahkan love hotel. Dan sebuah kyabakura yang cukup besar, dengan lampu-lampu menyilaukan. Jalan di sisi yang satunya yang merupakan jalan raya utama distrik tersebut tampak masih ramai, jauh berbeda dengan tempatnya mengamen. Terlihat seperti dua dunia yang dipisahkan oleh sebuah jembatan yang berkilauan oleh cahaya kunang-kunang.

Tora menggelengkan kepalanya perlahan, imajinasinya mulai melantur lagi. Matanya menyusuri jalanan di sebelah kirinya yang dilalui oleh satu dua kendaraan, kemudian berpindah ke sebelah kanan. Sisi tersebut menggaungkan suara klakson, tawa-tawa cekikikan, dan sayup-sayup hentakan musik tekno. Sebentar lagi akan semakin ramai, ketika gadis-gadis kyabakura di ujung lorong mulai berjejer untuk memanggil pria-pria berdompet tebal dengan jiwa yang lelah.

Suara-suara percakapan yang gaduh terdengar, menarik perhatian Tora. Beberapa orang gadis akhirnya muncul dari balik papan reklame yang dipenuhi lampu kecil-kecil berwarna pink-biru, menerangi papan nama satu-satunya kyabakura di lorong tersebut. Matanya mencari-cari, namun Tora tidak menemukan objeknya. Gadis itu tidak terlihat. Gadis yang menarik perhatiannya sejak sering nongkrong di lorong tersebut sehabis mengamen. Gadis yang terlihat berbeda dari gadis-gadis lain di kyabakura tersebut. Hingga kini, Tora belum pernah mendengar gadis itu tertawa seperti gadis-gadis lain, tidak pernah berbicara, dan hanya tersenyum simpul mendengar obrolan teman-temannya. Atau saat mendengarkan ocehan teman kencannya yang menggandengnya menjauhi kyabakura tersebut.

29 Juni, gadis tersebut melintas di hadapannya dengan salah satu teman kencannya. Raut wajahnya muram, bahkan senyum simpulnya terlihat masam. Hal itu menggelitik Tora. Itulah pertama kalinya Tora tertarik memperhatikan gadis itu. Sejak saat itu, Tora merasa gadis itu selalu menarik matanya melirik ke arah tempatnya bekerja, kalau-kalau dia muncul.

Tora tidak ingin mengakui kalau dia tertarik. Hal itu jauh di luar jangkauannya. Kyabajyou secantik dia bukanlah levelnya, tidak akan tergapai. Oleh karena itu Tora hanya mengaguminya diam-diam dari kejauhan. Dia selalu berakhir nongkrong di konbini itu setiap selesai mengamen, setelah tak sengaja menemukan tempat itu saat mencari tempat berteduh di minggu pertamanya mengamen beberapa bulan lalu.

29 juni, Tora sedang bertukar sapa dengan salah satu pegawai konbini yang baru saja bertukar shift dan hendak pulang. Gadis itu sudah hapal Tora yang setiap malam selalu mampir ke konbini untuk membeli minum, rokok, permen, atau sekedar duduk di pelatarannya untuk beristirahat. Saat gadis yang memperkenalkan dirinya sebagai Chiharu tersebut berlalu, gadis menakjubkan tersebut melintas. Bahkan senyum masamnya terlihat manis. Tora terpesona.

Suara lantang penjaga konbini yang menyambut seorang pelanggan membuyarkan lamunan Tora. Mengecek jam, Tora memutuskan untuk pulang lebih awal. Tidak terasa dia sudah satu jam lebih duduk di teras konbini, waktunya pulang.

***

            Malam ini rezekinya cukup bagus. Beberapa gadis muda yang heboh menontonnya di lagu ke tujuh menciptakan sebuah kerumunan yang tidak menyusut hingga akhirnya Tora menyerah di lagu ke enam belas dan mohon undur diri. Malam yang panjang, dan wajar saja sangat ramai. Tora lupa kalau itu adalah malam minggu.

Kotak gitarnya diberati oleh recehan dan lembaran Yen, hasil yang sangat memuaskan. Yah, selalu terjadi setiap malam minggu jika cuaca bagus seperti sekarang. Setelah memindahkan semua uangnya ke dalam pouch andalannya, Tora beranjak menuju tempat biasa.

Lorong itu sangatlah ramai oleh orang-orang yang berseliweran keluar dan masuk di pintu-pintu yang berjejer di sepanjang lorong. Di ujung lorong, beberapa orang kyabajyou seperti biasa tampak siaga di depan pintu masuk klub, memanggil pria-pria yang lewat untuk mampir dan mengosongkan isi dompet mereka. Tora berjalan semakin jauh kedalam lorong, seperti biasa ingin mampir ke konbini yang terletak tidak jauh dari kyabakura tersebut.

Suara Chiharu yang kekanak-kanakan menyambutnya.

Irasshaimase~ Oh! Tora-san! Apa yang bisa aku bantu malam ini?”

“Hai Chiharu-san. Aku lapar, bagusnya aku makan apa ya?”

“Hmm.. Kau mau onigiri ? Atau ramen cup? Ah, ramen cup sepertinya cocok sekali dengan udara sejuk seperti sekarang !”

“Benarkah?”

“Tentu saja. Silahkan pilih varian yang kau inginkan di rak sana”

Tora mengangguk, lalu menyusuri rak-rak untuk memilih ramen-nya. Tora kembali ke meja kasir dengan sebotol air mineral dan sekaleng kopi hitam.

Dalam beberapa menit, Chiharu menyerahkan ramen cup-nya yang sudah diisi dengan air panas. Tora mengangguk dan mengucapkan terimakasih setelah menerima uang kembaliannya, beranjak ke selasar di dekat pintu masuk yang khusus disediakan untuk makan. Tora mengaduk ramen-nya sambil melihat jalanan di balik jendela kaca dengan pandangan menerawang, hingga ia merasa hanya salah lihat saat sekelebatan syal bulu palsu melintas.

Suara derit pintu konbini yang terbuka ditingkahi sambutan Chiharu kepada pelanggan yang baru masuk menarik perhatian Tora dari khayalannya akan syal bulu palsu berwarna ungu. Kepalanya otomatis menoleh, dan pandangannya terhenti di satu titik. Chiharu tersenyum kepada seorang gadis berambut coklat panjang berkilau yang mengenakan gaun sutra ketat berwarna ungu pucat dan syal bulu palsu yang juga berwarna ungu, namun lebih gelap. Mereka berbincang, membuat Tora tercekat karena suara berat yang meningkahi tawa ringan Chiharu. Dalam hati, Tora memohon ampun kepada Dewa akan segala kesalahannya di masa lalu. Tangannya kaku di udara, menggenggam sumpit kayunya. Tora tetap terpaku bahkan saat pria itu, orang yang disapa Chiharu sebagai Shou-san berbalik meninggalkan kasir dengan sebungkus rokok, berhenti melangkah saat menyadari Tora yang membeku menatapnya, lalu tersenyum simpul. Senyum yang biasa Tora lihat dan sangat dia kagumi. Suara baritonnya menggema, mengucapkan selamat malam kepada Chiharu dan dia pun berlalu.

 

________

note :

Konbini : toko serba ada

Kyabakura : cabaret club / hostess club

Kyabajyou : Cabaret girl / hostess

Onigiri : nasi kepal

Spaghetti Kimchi

 

 

Jadi minggu kemaren saya bikin kimchi lagi setelah sekian lama. Awalnya sih kayak bakalan gagal, karena pas saya cicipin sawinya yang belum dibumbuin, ternyata agak pahit gitu. Tapi karena gak mau buang-buang bahan, akhirnya sawinya tetap saya bumbuin. Dan Alhamdulillah hasil akhirnya ternyata gak ada rasa pahitnya sama sekali..mihihihi..

kimchi

Kimchi yang saya buat warnanya gak merah karena bumbunya pake bubuk cabe lokal yang pas dicampur sama bahan-bahan lain warnanya berubah jadi gelap. Makanya warna kimchinya juga jadi kayak butek gitu ahahaha..

Oia, resep kimchinya saya dapet disini

Nah yang namanya makanan fermentasi ya pasti asem dong yaa.. Saya sih suka aja makanan asem, tapi kimchi kalo udah semingguan tuh saya udah gak kuat lagi sama rasa asamnya. Jadi biasanya kalo udah semingguan kimchinya masih belom abis, suka saya bikin kimchi jjigae ala-ala an gitu, alias suka-suka aja bikinnya, yang penting bentuknya rebusan kimchi. Sukanya sih beberapa lembar kimchi dipotong-potong trus ditambahin tahu dan daun bawang, udah deh jadi. Bumbunya paling ditambahin bawang merah iris, gak ditumis.

Tapi kali ini saya nyoba berkreasi dengan spaghetti karena emang dari minggu kemaren lagi pengen banget bikin spaghetti. Idenya pas lagi ngambil bahan buat bikin spaghetti di kulkas, liat kotak penyimpanan kimchi, dan mikir; apa rasanya ya kalo spaghettinya ditambahin kimchi.. ahahaha..

Jadilah saya ngiris satu lembar daun sawi ditambahin irisan sayurnya (saya pake wortel, lobak, dan bawang bombay) sebanyak satu sendok makan. Kemudian dicampur kedalam saus spaghetti yang lagi di didihkan. Sausnya sengaja saya sisain sedikit di wajan khusus buat saya aja, khawatirnya adek dan mama gak suka kalo ditambahin kimchi karena mereka lidahnya emang gak begitu cocok sama kimchi. Nah, setelah kimchinya saya masukin ke saus, saya tambahin air dikit aja untuk ngerebus kimchinya trus didihkan sampe sausnya kentel lagi, baru saya masukin pastanya.

Ternyata ENAK!!

kimchi spaghetti

Bahkan adek saya bilang yang ditambahin kimchi ini lebih enak…wahahaha..

Mungkin karena rasa asam tomat sama kimchinya cocok kali ya, jadinya gak berasa aneh. Bisa juga mungkin karena saya masukin kimchinya dikit aja.  Jadiii, buat yang pengen coba silahkan dipraktekkin juga ya. Sawinya diiris tipis aja. Jangan lupa pas masukin kimchi ke saus spaghetti, tambahin air dikit untuk ngerebus kimchinya biar rasa asam kimchinya agak berkurang. Kalo mau make kimchi seger yang baru beberapa hari dan belum terlalu asam sih kayaknya gak usah ditambahin air, tinggal aduk dengan saus sampe kecampur rata dan masukin pastanya. Jadi intinya sih sesuai selera aja, suka asam atau nggak. Kalo suka asam ya lebihin aja masukin kimchinya.. ^_^

 

—–

Hijab Syar’i?

 

I’ve been thinking about this for quite a long time. Yang saat ini suka bikin saya gerah adalah penggunaan kata syar’i. Sejak jilbab mulai jadi “trend”, dikit-dikit jadi berlabelkan syar’i. Jilbab gaul keliatan pundak dibilang syar’i. Jilbab trendi sepergelangan tangan juga syar’i. Baju panjang a.k.a gamis yang keren dan fashionable dilabeli gamis syar’i. Seakan-akan pakaian nenek saya yang berpotongan baju kurung malaysia gak pantes disebut baju syar’i. Seakan-akan yang syar’i itu cuman gamis keren dan trendi. Padahal sebenernya syar’i itu maknanya apa sih?? Gimana sama blus longgar selutut dan rok? Mereka harus dikategorikan sebagai apa..? Ini kasusnya kayak istilah “hijab” mulai digaungkan sejak istrinya sutradara terkenal yang itu mulai berjilbab dan mempopulerkan jilbab trendi, dengan menggaungkan “pake jilbab juga bisa tetep fashionable lho”. Dan muncul lah tren jilbab dengan berbagai model dan gaya yang kemudian disebut hijab dengan pelakunya disebut hijabers. Sampe ada komunitasnya segala lho.. Yang terkesan eksklusif, dengan anggotanya rata make jilbab keren dan beragam gaya rumit yang dijamin makan waktu buat makenya. Yang kadang bikin males buat shalat di tempat umum karena bakal repot masangnya lagi. Ya kan? Seakan-akan cuman gaya jilbab mlintir-mlintir itu doang yang pantes disebut hijab. Jadi emak saya yang cuman pake bergo mesti masuk ke golongan mana? Apa mesti dipopulerkan istilah “bergoers” khusus buat emak-emak die-hard fans nya bergo?

Dulu juga ada penyebutan jilbaber yang sepertinya dikhususkan untuk mereka yang berjilbab panjang sampai ke pinggang. Trus jadi galau, saya yang pake jilbab sedada masuk ke golongan mana dong? Dan sekarang makin silly dengan adanya istilah hijabers untuk mereka dengan jilbab fashionable. Makin galau deh. Mesti bikin kasta baru kayaknya.. -_-

Ini curhatan saya yang belom berpakaian syar’i dan bukannya mau sok-sokan ngerti, cuman galau aja karena jilbab udah jadi trend dan saya masih main-main make jilbabnya #pretluh

 

Trans Padang Adventure

 

Saya pulang kampung. Diledekin lambe-lambe bendera putih karena akhirnya balik juga setelah hampir lima tahun merantau #pret

Tapi bukan itu sih inti curhatan yang ini. Jadi sebelum balik kemaren, saya sempat ke Jogja dan Solo dalam rangka tes beasiswa. Tes nya di Jogja, dan sisa waktu liburan mendadaknya saya habiskan di Solo. Yah, bukannya pas balik ke Padang setelah memutuskan berhenti bekerja di Bengkulu trus itu jadi dianggap bukan liburan sih. Tapi menghabiskan waktu tanpa bekerja di tempat yang jauh tuh kok berasa kayak traveler gitu yah mahahaha *dijitak*

Trus apa hubungannya sama Trans Padang..?

Nah, ini adalah pengalaman buruk yang menyesakkan dada saat saya pertama kali nyoba naik Trans Padang. Ohiya dong, kota kecil dimana saya dilahirkan ini sudah cukup keren dengan adanya sistem transportasi serupa ibukota yang dikenal dengan nama Trans Padang, mengikuti jejaknya Trans Jakarta dan trans-trans lainnya. Saya nggak tau dengan kota lain, yang saya tau baru ada di Jakarta, Bandung, Jogja dan Solo. Dan saya sudah mencoba semuanya, kecuali yang di Bandung. Dan semuanya menganut sistem kenyamanan penumpang seperti yang memang sudah dicanangkan sejak awal. Trans Jakarta muncul untuk memperbaiki sistem transportasi umum di Jakarta yang katanya carut marut. Saat saya naik Trans Jakarta, memang nyaman. Gak begitu desak-desakan. Gak tau biasanya gimana, tapi begitulah sepanjang pengalaman saya yang cuman dua kali menggunakan jasa angkutan ini. Apalagi pas naik Trans Jogja dan Batik Trans-nya Solo. Kalo di Solo mungkin memang konsumennya yang tidak banyak, karena setiap kali naik tuh bus-nya gak pernah penuh. Rasa-rasanya sepanjang saya naik Batik Trans, gak pernah berdiri deh. Sementara Trans Jogja lebih berasa penegakan sistem kenyamanannya. Karena saya dan dua teman yang mau main ke Prambanan pernah di tolak naik sama pramugaranya pas naik di halte Amplas, karena katanya udah penuh. Padahal sebenernya sih masih bisa aja *jiwa mantan die-hard fans nya bis kota nih*

Kecuali Trans Padang.

Yak, bagi warga kota Padang yang merupakan konsumen Trans Padang pasti ngerti maksud saya.

Jadi waktu saya balik dari Solo kemaren itu, saya mutusin balik sendiri dari bandara karena sekarang transportasi dari bandara ke pusat kota udah nggak sesulit dan semahal dulu. Ada tranex dan damri untuk konsumen berkantong cekak kayak saya yang gak mampu naik taksi. Kalopun pas lagi mampu pasti mikir trilyunan kali buat buang duit naik taksi. Mending buat jajan *pret*

Karena waktu saya mau balik yang ngetem cuman ada damri *mestinya saya naik tranex yang last stop-nya deket ke rumah*, terpaksalah saya naik bus mini tersebut dengan galau. Mikirin gimana saya bisa nyambung angkot dengan nyaman. Bawaan saya lumayan berat masalahnya. Sampe curhat sama bapak-bapak di bangku sebelah. Dan akhirnya disaranin untuk turun di salah satu halte Trans Padang, nyambung naik itu sampe ke tempat perlintasan angkot menuju rumah tanpa harus jalan kaki. Dan akhirnya saya pun mengikuti saran tersebut, dan turun di halte Trans Padang Tabing.

Dan dimulailah petualangan saya di atas Trans Padang. Mulai dari tas saya dipindahin semena-mena ke dalam sama pramugari-nya dan didesak untuk gak berdiri dekat pintu. Oke, saya yang berdiri di pintu dengan tiga potong barang bawaan memang akan nyusahin orang yang mau naik berikutnya, jadi saya ngalah dan geser ke dalam. Tapi yang saya takutkan akhirnya kejadian setelah beberapa halte terlewati. Satu demi dua orang turun digantikan tiga demi empat orang yang pengen banget pulang cepet. Begitulah sampe saya yang akhirnya dapet duduk jadi kejepit palang, gak bisa berdiri dengan benar apalagi ngurusin barang-barang. Memori saya jadi kembali lagi ke tahun-tahun silam saat saya masih menyandang status mahasiswa. Dempet-dempetan dengan mahasiswa lainnya dalam bis Reny Kendedes, atau Mira, atau Salsa. Oh, betapa saya kangen dengan masa-masa itu. Tapi nggak dengan keadaan linglung setelah dua penerbangan dengan total enam jam, plus tiga potong barang yang….ah sudahlah.

Ditambah dengan pramugarinya yang bertubuh kecil tapi suaranya nyaring kayak burung kakatua lagi pms. Judes pulak.

Intinya pelayanan Trans Padang sungguh jauh dari yang harusnya diberikan oleh angkutan pemerintah ini seperti yang sudah dijanjikan. Tidak ada kenyamanan. Emang sih penumpangnya dipisah, yang laki-laki di belakang, yang perempuan di depan. Tapi dengan kapasitas bus mini ini, dengan penumpang yang banyak tanpa ada batasan sampe harus desak-desakan, ya sama aja boong. Gak sekedar desak-desakan lho, beneran dipadet-padetin sampe orang susah buat gerak. Ikan sarden dalam kaleng pun mungkin jauh lebih lega.

Gimana ceritanya tuh penumpang dibagi dalam dua sisi, depan dan belakang, sementara bagian tengah dipadet-padetin sampe kalo ada cowok yang masuk kedalam pun ya akhirnya mesti senggol bacok sama cewek yang berdiri. Begitupun gang di antara bangku yang diisi oleh siapa aja yang gak dapet duduk dengan sangat rapat. Ya tetep aja cowok dan cewek jadi dempetan. Jadi gak ada bedanya sama bis kota yang lama. Menyedihkan.

Dan ternyata ini bukan hal baru. Sudah banyak keluhan dari pelanggan, bahkan sampai dimuat di koran online. [ http://posmetropadang.co.id/trans-padang-mulai-ugal-ugalan/ ]. Dan sudah ada janji dari pengelola untuk menindak lanjuti laporan pelanggan dan memperbaikinya. Yang artinya sama sekali tidak ada perubahan yang dilakukan oleh pengelola Trans Padang akan sistem mereka. Entah pengelolanya yang gak berusaha, atau memang kru nya yang bebal. Wallahu’alam. Yah, mudah-mudahan episode naik Trans Padang berikutnya gak bakal kayak gini lagi..ckckck..

Udah ah, gitu aja curhatnya. Daripada ntar saya baper lagi. Wassalam.

Sebelum Dirimu Menjadi Kenangan


Musim gugur kembali menjelang. Saat-saat dalam setahun yang sangat dia sukai. Cuaca yang cukup dingin sangatlah menyebalkan karena membuat bibirnya sering pecah-pecah. Tapi semuanya tergantikan dengan warna-warna kesukaannya di mana-mana. Semua daun berubah kuning, merah dan coklat. Dan dia bisa bermain di gunungan daun kering yang dikumpulkan di sudut taman oleh petugas kebersihan. Dia selalu bermain di taman kecil itu, dekat sekolah dasar Meishi. Tempat yang selalu dia perhatikan dari kejauhan. Dia ingin sekali kesana, belajar bersama anak-anak lain dan bermain. Sepak bola, dodge ball, bertukar kartu mainan, bernyanyi dengan iringan piano, dan hal-hal menyenangkan lainnya. Tapi dia hanya bisa mendengar suara sayup-sayup koor anak-anak yang sedang berlatih paduan suara, teriakan-teriakan riang saat bermain di lapangan, atau melihat mereka berhamburan keluar dari gerbang sambil tertawa-tawa. Andai saja…

Dia menyeberangi taman dan mendekati pagar kawat yang memisahkan jalan dengan halaman sekolah. Menatap gerombolan anak-anak yang sedang berlari-larian di lapangan, matanya berubah sayu penuh kerinduan. Andai saja…

Dia lalu berjalan tersaruk-saruk menuju ujung taman, ke arah jalan pulang. Hingga dia mendengar suara yang indah dari balik tanaman perdu pembatas taman. Dia melongok, melihat puncak kepala berbalut topi kupluk berwarna merah coklat muda, dan sejumput rambut pirang yang mencuat pinggiran topi. Suara yang dihasilkan orang itu indah sekali, berpadu dengan sesuatu yang dia mainkan. Membuatnya penasaran dan berlari-lari kecil memutari taman menuju tempat orang itu duduk bersila.

Ternyata dia memainkan sebuah benda yang kalau tidak salah bernama gitar. Irama yang dihasilkan benda itu sangat menyenangkan. Membuatnya duduk bersimpuh di hadapan orang itu, seorang pria muda yang tersenyum ramah padanya sambil tetap melanjutkan nyanyiannya. Dan tetap begitu sampai pria itu akhirnya selesai menyanyi.

“Hai adik kecil, kau suka nyanyianku?” tanya pria itu. Dia menjawab dengan anggukan penuh semangat.

“Siapa namamu? Kau tinggal di dekat sini?”

Dia lalu meraih tangan pria itu dan menuliskan namanya di telapak tangan yang lembut itu dalam huruf hiragana.

Haruki. Yoroshiku onegaishimasu. Shaberitai kedo shaberanai yo.[1]

Pria itu tercenung menatapnya yang menyembulkan cengirannya, lalu membalas dengan senyuman lebar sambil mengacak-acak rambutnya.

“Aku Miya. Yoroshiku na, Haruki-chan[2]!”

***

Sejak hari itu, Haruki punya tempat bermain baru selain pojokan taman. Ketika Haruki mendengar suara gitar dari kejauhan, artinya Miya sudah bertengger di trotoar tempat dia biasa duduk sambil memainkan gitarnya. Miya bilang dia mengamen karena dia tidak punya pekerjaan sementara untuk beli kopi kaleng harus pakai uang. Saat mendengarnya, Haruki langsung mengeluarkan uang 100 Yen yang diberikan ibunya untuk jajan agar Miya bisa membeli sekaleng kopi. Tapi Miya hanya tertawa sambil mengacak-acak rambutnya – ngomong-ngomong Miya senang sekali mengacak-acak rambut – dan menyuruhnya menyimpan kembali uang tersebut. Miya bilang dia tidak mau mengambil uang temannya.

Miya bahkan mengajarinya bermain gitar setelah lelah menyanyi. Haruki bisa menghabiskan berjam-jam duduk bersama Miya, kadang sampai ibunya datang mencarinya hingga ibunya pun mengenal pria muda yang periang itu. Seperti sore itu, saat suhu musim gugur semakin turun dan uap mulai keluar dari hidungnya.

“Haru-chan, ayo pulang. Ibu sudah selesai memasak nabe[3] kesukaanmu. Selamat sore Miya-san, aku harus membawa Haru pulang sekarang. Terima kasih sudah menjaganya ya..” ujar Nyonya Morio.

Iie[4], selamat sore Nyonya”

Haruki berdiri, kemudian menggoyang-goyang tangan ibunya dengan pandangan penuh arti.

“Hmm.. Baiklah, Ibu akan mengajak Miya-san juga,” ujar ibunya. “Nah, Miya-san. Haru ingin anda ikut serta makan malam bersama kami. Dia tidak suka lho kalau ajakannya ditolak”

“Eeh? Daijoubu desuka[5]?” Haruki dan Ibunya serentak mengangguk sambil tertawa. Hingga Miya pun akhirnya ikut serta pulang ke rumah mereka yang berada tidak jauh dari taman untuk makan malam bersama.

Makan malam sederhana itu hanya dihadiri oleh Haruki, ibunya dan Miya. Selama makan malam, Nyonya Morio banyak bercerita, sambil ditimpali dengan bahasa isyarat Haruki yang kemudian di terjemahkan oleh ibunya. Membuat Miya mengetahui banyak hal tentang keluarga kecil itu.

Haruki yang sudah berumur 13 tahun sebenarnya bukanlah tuna wicara alami. Anak itu mengalami kekerasan sejak kecil oleh ayahnya, yang juga menimpa ibunya hingga membuatnya berhenti bicara di umur empat tahun. Dua tahun setelah Haruki mengalami disphasia[6], Nyonya Morio membawanya kabur dari rumah mereka nun jauh di Aomori ke Fukuoka, tempat mereka hidup sekarang. Haruki tidak mau masuk sekolah khusus anak-anak cacat, hingga dia hanya belajar di rumah saja dengan ibunya. Menulis dan membaca hiragana serta sedikit kanji, dan sedikit berhitung.

Miya balas bercerita perihal ketertarikan Haruki akan gitar, sehingga Miya selalu membiarkan Haruki memainkan gitarnya ketika Miya istirahat. Dan bahwa permainan gitar Haruki sekarang sudah cukup bagus. Anak itu cepat menangkap kord yang dimainkan Miya, dan Miya pun akhirnya dengan cermat mengajari Haruki.

Mereka berbincang cukup lama hingga Miya pun pamit karena sudah larut malam, dan Haruki menuliskan di telapak tangan Miya kalau dia akan kembali ke taman besok untuk belajar gitar seperti biasa.

***

Hari demi hari, Haruki semakin akrab dengan pria itu. Miya sampai berusaha belajar bahasa isyarat ssederhana agar dapat bercakap-cakap dengan Haruki. Sampai satu hari di penghujung musim gugur, sesuatu mengubah hidup anak itu, mungkin untuk selamanya.

Seperti biasa, Haruki bermain di taman, memperhatikan anak-anak yang bersekolah di SD Meishi, kemudian mendengar petikan gitar Miya dari kejauhan. Haruki dengan girang segera berlari menuju tempat Miya, disambut lambaian tangan oleh pemuda yang sudah dia anggap sebagai Aniki[7] itu. Haruki seperti biasa duduk di sebelah Miya yang sedang bernyanyi sambil mengangguk berterima kasih kepada orang yang melemparkan uang. Hingga Miya menyanyikan sebuah lagu sendu yang pasti dia nyanyikan setiap hari. Dan Haruki sangat menyukai lagu itu. Tanpa Haruki sadari, Miya memperhatikan dari sudut matanya, Haruki yang tampak sangat menikmati lagu ciptaannya sesekali menggoyangkan kepalanya dan bersenandung. Suara indah yang tak disangka-sangka, walaupun hanya senandung putus-putus mengikuti irama lagu yang Miya nyanyikan. Hal itu membuat Miya bertekad akan membantu Haruki kembali bicara, agar Haruki merasakan indahnya masa kanak-kanak bermain bersama teman sebaya dan bersekolah dengan normal. Miya meneguhkan hatinya untuk membantu Haruki kembali normal seperti sedia kala.

Ne Haru-chan. Aku mau beli kopi. Kau mau jus apel?” tanya Miya yang dijawab  dengan anggukan penuh semangat dari Haruki.

Yosh! Kau tunggu ya, aku mau ke mesin di seberang situ, pilihannya lebih banyak” ujar Miya sambil menunjuk mesin minuman otomatis di seberang jalan. Haruki menjawab dengan acungan jempol.

Miya tertawa, kemudian menyeberang dengan tergesa dan detik berikutnya terpelanting beberapa meter setelah sebuah mobil yang melaju kencang menghantam sisi tubuhnya.

“Miya-saaaaaaaan!!”

Semuanya terasa samar-samar, namun Miya dengan jelas mendengar seseorang meneriakkan namanya dengan keras. Sebuah suara cadel yang tertahan, tapi cukup jelas. Miya masih sempat tersenyum sebelum semuanya menjadi gelap.

***

Kepala bocah itu muncul dari balik pintu, diikuti cengiran lebarnya. Miya tersenyum lemah, merasakan denyutan di wajahnya saat memaksa senyuman itu muncul. Sebelah wajahnya tergores aspal, ditambah tiga buah tulang rusuk yang patah, tulang pinggang bergeser dan retak di tulang panggul sampai paha akibat tabrakan yang cukup keras. Semuanya di bagian kiri tubuhnya kecuali luka gores di wajah.

Haruki melambaikan tangan kanannya sementara tangan kirinya menenteng sebuah gitar. Ini adalah hari ke duabelas Miya di rawat di rumah sakit dan dia mulai bosan. Walaupun Haruki datang menjenguknya setiap hari. Tapi Miya sudah kangen dengan gitarnya, dan bernyanyi di pinggir jalan. Oleh karena itu ketika Nyonya Morio menjemput Haruki setelah anak itu menemaninya sesiangan, Miya berpesan agar Haruki membawakan gitarnya. Seperti biasa, dengan menulis di telapak tangan anak itu.

Miya sebenarnya merasa sangat sedih, karena Haruki kembali diam setelah kejadian hari itu. Hingga dia merasa itu hanyalah mimpi. Saat Haruki meneriakkan namanya.

Yo Haru-chan,” ujar Miya saat Haruki akhirnya duduk di sampingnya. Gitar yang dia bawa di senderkan di sofa tunggal yang diletakkan di kamar itu.

“Ada kabar apa hari ini?” tanyanya pelan. Haruki menjawab dengan gelengan.

Hora[8] Haru-chan.. Hey, aku tahu lho”

Haruki menatapnya dengan pandangan ingin tahu.

“Kau mungkin tidak akan menyangkanya. Tapi aku mendengarmu memanggil namaku lho”

Miya dapat melihat perubahan drastis pada raut wajah Haruki. Bocah itu tersenyum getir, memalingkan wajahnya menatap sesuatu di kejauhan melalui jendela.

Ne, Haru-chan?” panggil Miya. Haruki kembali menatapnya. Miya terenyuh melihat binar yang meredup di mata anak itu.

“Aku hidup sendiri sejak umur delapan belas. Aku juga lari dari rumah lho. Sejak ayahku meninggal, ibuku sering mabuk dan membawa laki-laki ke rumah. Hampir setiap malam, selalu saja orang yang berbeda..”

Miya berhenti sejenak, melihat reaksi Haruki. Anak itu memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Miya pun melanjutkan ceritanya karena merasa Haruki tertarik akan ceritanya.

“Saat aku masih kecil, kupikir aku punya banyak ayah. Aku menganggap semua laki-laki yang datang ayahku. Oleh karena itu aku selalu menyambut mereka setiap kali ada yang datang. Tapi tidak semuanya bersikap baik padaku. Bahkan ada yang menendangku karena merasa terganggu, dan ibu hanya diam saja. Hingga aku sudah masuk sekolah, dan sering diledek oleh teman-temanku karena punya ibu seorang pelacur. Pada awalnya aku tidak tahu apa maksud mereka. Kupikir mereka hanya iri karena aku punya banyak ayah. Tapi lama kelamaan aku tahu sendiri, dan mulai marah kepada ibu. Aku sangat marah dan sering bertengkar dengannya, walaupun dia sangat menyayangiku dan selalu berusaha menyenangkanku….,” ucapan Miya terhenti saat Haruki meraih tangannya dan menulis disitu.

“Aku sayang ibuku. Miya-san bagaimana?” Miya menatap di kedalaman mata bocah itu, kemudian mengangguk.

“Tentu saja. Aku sangat mencintai ibuku, karena dia juga begitu. Tapi aku harus pergi dari rumah, karena keberadaanku hanya akan mengganggunya”

            “Tapi dia pasti kesepian”

“Tentu saja, aku juga kesepian. Oleh karena itu aku selalu berusaha membuatnya tidak kesusahan. Tapi itu cerita lama, Haru-chan”

            “Hmm..?”

“Ibu sudah meninggal setahun lalu..”

Haruki menatapnya dengan pandangan terkejut. Begitupun Miya, yang selama ini belum pernah menceritakan tentang kehidupan pribadinya, tapi malah sangat terbuka kepada anak kecil itu.

Ne[9], Haru-chan.. Aku ingin mendengarmu memanggil namaku sekali lagi. Dan ibumu, aku yakin dia merindukan mendengar suaramu. Aku yakin kau pasti bisa, Haru-chan” ujarnya. Haruki melengos. Wajahnya mengeras, sehingga Miya pun mundur. Dia harus berusaha pelan-pelan agar Haruki sedikit demi sedikit mau membuka hatinya dan kembali berbicara.

“Hey, kau sudah hapal lagu kesukaan kita kan? Coba mainkan gitarnya..” uar Miya. Haru mengangguk antusias, wajahnya kembali cerah.

***

Miya akhirnya diperbolehkan pulang. Menjelang siang, Miya sibuk membereskan barang-barangnya sendirian, karena tumben sekali Haruki tidak datang melihatnya dua hari terakhir. Biasanya bocah itu datang menemaninya di rumah sakit, pagi-pagi dengan diantarkan ibunya sebelum berangkat kerja lalu di jemput kembali setelah ibunya pulang kerja. Miya sudah menganggap Haruki sebagai adiknya sendiri, sehingga merasa sedikit kehilangan karena tidak dikunjungi.

Jam 1 siang perawat datang untuk membantunya menyelesaikan administrasi dan meneleponkan taksi. pada saat itulah Haruki muncul sambil menenteng sebuah gitar.

Saat Haruki masuk kamar, dia mengangkat gitar yang dibungkus dalam tas gitar tersebut tinggi-tinggi. Seakan ingin pamer. Miya melambai menyambutnya, lalu disuruh duduk oleh Haruki di sofa dengan isyarat perintah. Miya menurut, melihat Haruki mengeluarkan gitarnya. Miya berpikir Haruki pasti akan pamer dengan memainkan gitarnya, mungkin sebuah lagu yang sudah bisa dimainkannya agar Miya terkesan.

Miya mengenali petikan awal lagu tersebut sebagai lagu favoritnya yang juga menjadi favorit Haruki. Dan kejutan yang dia berikan adalah dengan menyanyikan reffrain lagu tersebut dengan terpatah-patah. Haruki nampak berusaha keras menyanyikan lagu tersebut sampai habis.

Miya tidak dapat membendung luapan emosinya yang pecah dalam bentuk tangisan. Dengan langkah tersaruk-saruk Miya menghampiri Haruki dan memeluknya erat hingga gitar Haruki yang baru terperangkap diantara mereka berdua.

Okaerinasai[10], Haru-chan…”

-end-

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia dan Nulisbuku.com


Note :

[1] Salam kenal. Aku ingin bicara tapi aku tidak bicara.

[2] Panggilan yang biasa digunakan untuk anak kecil dan perempuan muda

[3] Sup sayuran dan daging yang dimasak dalam sebuah panci besar.

[4] Bukan apa-apa

[5] Tidak apa-apa?

[6] Salah satu jenis gangguan bicara yang terjadi akibat sebab selain kelainan fisik bawaan.

[7] Sebutan untuk kakak laki-laki tertua, umumnya digunakan oleh yakuza/anak geng

[8] Coba lihat aku

[9] Hey

[10] Selamat datang kembali

[Songfic] The Angvisible Gong with Shou Series – At The End of Her Day : Superheroes

Characters : Shou, Angie

Fandom : Alice Nine, Fantastic Four

Genre : Fluff

Rating : 13+

Warning : OOC, AU, SI

a/n : inspired by The Script’s Superheroes.

****

shou—–

“……That’s how a superhero learns to fly. Everyday every hour turns the pain into power”

—–

Angie belum lupa akan dirinya sebagai seorang invincible girl yang saat ini sedang melarikan diri dari “dunia”nya demi kehidupan percintaannya yang dramatis dan tak terduga yang membuatnya tidak ingin kembali ke sisi Johnny dan kawan-kawan di Amerika sana. Dan demi itu, dia harus menutupi eksistensinya sebagai Angvisible Gong walau dalam keadaan apapun, atau jika tidak dia harus kembali ke Amerika detik pertama khalayak menyadari bahwa dirinya adalah Angvisible Gong, sang anggota Fantastic Foul. Tapi tetap saja sanubarinya sebagai seorang pahlawan super tidak bisa diam saja melihat seorang pria paruh baya berusaha menjalarkan tangannya menuju bokong seorang anak SMU. Kereta sedang penuh sesak, keuntungan bagi si tua bangka mesum. Angie kemudian menegakkan badan, lalu pura-pura tertidur; mencondongkan badannya kearah depan yang membuat keningnya membentur siku pria tersebut, yang berdiri tepat di hadapannya dalam posisi menyamping.

Angie segera membuka mata, kemudian meminta maaf. Pria itu berdeham, kemudian memutar tubuhnya menghadap kearah Angie. Tapi sepertinya otak mesum pria itu sedang menggelora. Dia menatap Angie lekat-lekat sambil sesekali tersenyum miring. Angie mengabaikan, toh sebentar lagi dia akan segera turun. Si pria paruh baya tersebut kemudian memulai aksinya. Tangannya yang bebas perlahan menempel di selangkangannya sendiri, kemudian bergerak mengusap-usap bagian tersebut sambil terus mengarahkan senyum miringnya yang menjijikkan kepada Angie.

Gadis itu meremang, sadar sudah mengalami sekuhara, tapi tidak mau memperpanjang masalah dengan hanya mendiamkan saja dan mengalihkan pandangannya kea rah lain. Tapi berikutnya, si pria mendekat dan menempelkan kakinya ke betis Angie, berusaha mengusap-usapkan kakinya. Angie akhirnya mendidih lalu berucap pelan, hanya kepada pria itu.

“Hei Oji-san, kau berhenti sekarang atau aku teriak nih?”

Namun rupanya suara Angie keluar cukup keras sehingga orang disampingnya menyadari, dan mulai berbisik-bisik. Membuat pria itu merah padam karena malu dan segera berbalik membelakangi Angie. Bisik-bisik terus terdengar dan pria itu berulang kali berusaha melonggarkan dasinya, hingga kereta akhirnya berhenti di stasiun. Angie bergerak turun, bersamaan dengan si pria mesum. Mendelik, Angie berjalan dengan dagu tegak. Mengisyaratkan kepada pria itu untuk tidak mencoba macam-macam.

Setelah keluar dari stasiun, Angie berbelok ke dalam sebuah gang, merasakan langkah-langkah kaki yang mengikutinya sejak keluar dari peron. Firasatnya terbukti. Si pria mesum juga ikut berbelok, semakin mempercepat langkahnya. Berusaha untuk mengejar Angie yang berjalan santai. Hingga beberapa meter sebelum ujung gang yang berbelok ke dua lorong di kiri dan kanan, Angie langsung berlari mengambil arah ke kanan. Otaknya berpikir cepat, melihat sebuah tempat sampah besar dan menghilang di baliknya.

Tidak lama, Angie keluar dari gang yang sama sambil membenahi pakaiannya. Di belakangnya, terdengar rintihan memilukan dari si pria tua yang terbaring babak belur di tengah lorong.

Angie merapikan cardigan-nya dengan kesal. Masih pagi sudah ada masalah. Kalau saja Shou hari ini tidak ada pemotretan, mereka sudah dipastikan berangkat bersama.

***

“Hai cantik, kenapa mukamu cemberut begitu?” sapa seorang cordi yang dia temui di depan lift. Gadis bule itu salah satu temannya berbagi gosip dan info terbaru. Mereka berpelukan sebentar, berbagi kecupan di pipi, dan Angie mulai merepet mengenai betapa perilaku sekuhara harusnya dibinasakan dari muka bumi berikut pelakunya. Membuat cordi bernama Nat tersebut malah cekikikan dengan pandangan simpati. “Wah, sepertinya harimu berawal sangat buruk honey. Nih, kopi krim ku buatmu saja. Bagus buat moodbooster,”ujarnya, menyerahkan bungkusan kopi dalam gelas kertas tinggi yang dia jinjing.

“Trus untukmu?”

“Gampang, kopi instan sih cukup untukku pagi ini”

“Oh baiklah, thanks a lot honey~ Nice to have you this morning” ujar Angie, menerima kopinya.

WHAT?! Jadi kamu nggak seneng ketemu aku di hari lain..?!” sikutnya, membuat Angie terbahak.

“Of course not. It’s just nice to talk in English once in a while, you know?”

“Uuu~ Absolutely! I love Japan and the language and all things between but still home is the one and only place of our heart huh?!”

Angie hanya memeluk Nat sebagai balasan atas persetujuannya. Kedua gadis itu berbagi senyum pengertian kemudian memasuki lift yang terbuka menanti mereka serta beberapa pegawai lain.

***

“Hai’ moshi moshi?”

“Angie-chan, kau sudah di kantor?” suara Shou yang terdengar cemas membuat keningnya berkerut.

“Sudah, baru saja. Ada apa?”

“Maaf sekali harus merepotkanmu. Tapi kalungku ketinggalan, sepertinya di kamar mandi. Kau tahu kan aku nggak percaya diri kalau nggak pakai kalung itu?”

“Astaga babe, tumben sekali kamu ceroboh meninggalkan jimatmu?!…,”

“Huh? Babe..?” Shou bersiul.

“Sudaaah, nggak usah komentar. Aku tadi ketemu Nat, jadinya terbawa-bawa deh. Kalau begitu tunggu ya, aku usahakan secepat mungkin. Makeup nya sudah selesai?”

“Belum, sekarang masih giliran Tora. Tapi sebentar lagi kayaknya selesai”

Good, berarti waktunya cukup. See you there babe~!”

“Uh, ya… See you” Shou terbatuk, membuat Angie terkikik. Pastilah sedang ramai sehingga Shou jadi malu begitu.

Angie tidak membuang waktu, segera melesat meninggalkan ruangannya. Tapi sial sekali. Karena ternyata bos besarnya baru saja datang dan terlihat sedang bercakap-cakap dengan seorang manajer bagian di lobby. Dia tidak mungkin dengan santai melenggang keluar dari kantor sepagi itu, dan bilang kepada Tomomi-san bahwa Shou sedang membutuhkan bantuannya. Bisa-bisa berikutnya giliran dia yang keluar dari perusahaan tersebut. Dengan alasan yang berbeda tantunya.

Tidak ada pilihan lain, dia harus menghilang agar dapat melarikan diri dari kantor. Angie bergegas menuju toilet wanita untuk melepas pakaiannya dan menyimpan mereka dibalik pot tanaman. Gadis itu mendecak sebal karena harus menempuh perjalanan panjang dalam keadaan telanjang. Yah, walaupun tidak ada yang bisa melihatnya telanjang juga sih.. Tapi tetap saja kan? Harus berpanas-panasan dengan kulit terbuka dalam waktu yang cukup lama, plus nanti harus berusaha agar tidak bersentuhan dengan orang lain di kereta. Karena tidak mungkin kan kalau dia harus menyetop taksi? Lagi-lagi Angie merasakan sengatan iri kepada Harry Potter dan teman-temannya.

***

Perjalanan pulangnya sangat menguras emosi. Kakinya mulai sakit karena tidak menggunakan alas kaki. Kemudian sinar matahari yang cukup terik membuat kulit pundaknya mulai perih karena terbakar. Di kereta pun sangat menyebalkan karena cukup ramai walaupun sudah lewat jam masuk kantor dan sekolah. Dan tentu saja insiden. Dia lagi-lagi melihat seorang lelaki yang berusaha meremas bokong seorang wanita muda. Angie mendekat kemudian menginjak kakinya keras-keras, dan segera menjauh ke belakangnya. Membuat pria tersebut memucat dan berbalik menuju kearahnya, kemudian jatuh menubruk Angie yang tak terlihat. Angie merinding merasakan kulitnya bergesekan dengan pemuda berkacamata tebal tersebut. Wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti dari wajah Angie terlihat sangat menjijikkan, membuat Angie harus mengerahkan segenap kekuatannya untuk menahan diri agar tidak sampai meninju pria tersebut menjauh agar tidak memancing kecurigaan.

Pria tersebut berteriak-teriak, berkata bahwa ada sesuatu disitu, mungkin monster atau setan, atau apalah, yang menginjak kakinya kemudian menungkainya sampai terjatuh. Karena dia dapat merasakan sesuatu yang tidak terlihat di dekatnya. Membuat Angie ingin meludahi mukanya karena sudah melontarkan fitnah terhadap dirinya. Siapa coba yang menungkainya? Dia kan terjatuh sendiri!

Sementara itu orang-orang di dalam kereta hanya menatap si pemuda yang masih saja histeris sambil menunjuk-nunjuk lantai kereta tempat dirinya jatuh menimpa “setan” yang sebelumnya tersentuh olehnya. Tapi kebanyakan hanya melengos dan mencibir, menganggap pemuda itu sekedar mencoba bertingkah. Angie menghela nafas. Menatap kasihan si pemuda yang kemudian meringkuk di dekat pintu keluar dengan wajah pusat pasi. Sepertinya harinya akan berlangsung sangat panjang dan melelahkan.

***

Sesampainya di rumah, Angie merutuki pintu apartemennya yang menggunakan kunci. Memanjat balkon adalah satu-satunya jalan. Dengan cepat, Angie memanjat talang air tanpa suara, melintasi beberapa balkon dan akhirnya mendarat dengan lembut di balkonnya sendiri. Angie mengecek pintu kaca geser yang ternyata memang tidak dikunci sesuai perkiraannya.

Kelelahan dan berkeringat, Angie menghempaskan tubuhnya di sofa beberapa saat, kemudian teringat dia harus bergerak cepat. Pemotretan Shou mungkin saja sudah mulai sekarang karena waktu yang dia habiskan di jalan tadi. Pria itu benar-benar tidak bisa tanpa kalung salib pemberian ibunya itu. Shou pernah mengacaukan salah satu konser di live club karena juga lupa memasang kembali kalungnya sehabis mandi, hingga Angie harus tergopoh-gopoh mengambilkan kalung tersebut dan mengantarnya ke klub tersebut sebelum encore.

Angie menelepon Shou yang di jawab oleh asistennya, mengatakan bahwa pemotretannya sudah dimulai. Gadis itu berbisik dengan khawatir, mengatakan kalau pemotretan awal Shou berdua Tora agak kacau. Dan sekarang Shou sedang berusaha menenangkan diri sambil menunggu gilirannya setelah sesi Tora selesai. Angie berjanji akan segera datang dan meminta gadis itu untuk membantu menenangkan Shou. Setelah mengenakan pakaian dan menyambar kalung Shou dari wastafel, Angie bergegas ke jalan utama untuk menyetop taksi. Dia harus sudah di tempat pemotretan Shou di Shinjuku secepat mungkin.

***

Memang sepertinya tidak ada yang dapat berjalan lancar hari ini. Angie menatap satpam yang berdiri di hadapannya dengan frustasi, sama-sama menunjukkan wajah frustasi kepada Angie yang dianggapnya tidak mau memahami pekerjaannya. Sudah lima menit Angie berargumen, mengatakan bahwa dia hanya akan memberikan properti pemotretan untuk model yang sedang berlangsung di ruangan di belakang satpam tersebut, kemudian langsung pergi. Tapi satpam tersebut berkeras tidak ada seorangpun yang bisa masuk tanpa tanda pengenal. Dan Angie merutuki ponselnya yang ketinggalan di kantor. Dengan berderap, Angie kembali turun satu lantai ke lobby, mencari toilet wanita dan menyembunyikan pakaiannya sebelum kembali menghilang. Angie menyembunyikan kalung Shou dalam genggamannya dengan sangat berhati-hati agar tidak sampai kelihatan, kemudian naik ke lantai dua dan menyelinap di belakang si satpam, membuka sedikit pintu masuknya dan menunggu.

Berhasil!

Satpam tersebut berbalik, melihat pintu yang sedikit terbuka dan membukanya lebar-lebar, lalu melongok ke dalam ruangan yang menyemburkan udara dingin. Angie memanfaatkan kesempatan tersebut untuk merangkak diantara tubuh si satpam dan pintu kemudian berguling masuk tepat sebelum si satpam menutup kembali pintu tersebut, kemudian berbaring telentang dengan sangat lega seakan baru saja memenangkan olimpiade.

Angie kemudian bangkit dan berjalan makin kedalam, celingukan kearah kerumunan orang yang sedang sibuk di tengah-tengah studio berukuran luas tersebut. Ternyata sesi Shou sudah mulai. Wajahnya tampak cemberut dan tegang, terlihat dari keningnya yang berkerut dan senyumnya yang kaku. Angie berusaha sedekat mungkin dengan Shou tanpa menyenggol orang-orang dan berbisik memanggilnya. Tapi Shou tampak belum menyadari kehadirannya. Angie kemudian mengambil langkah nekad. Dia mendekati Shou yang sedang berpose sambil berjingkat-jingkat agar tidak menimbulkan suara. Dengan hati-hati Angie menunduk, mengecup rahang Shou, kemudian berbisik di telinganya.

Pria itu nampak tersentak, tapi langsung menyadari sentuhan lembut tersebut. Shou kemudian bangkit dan meminta maaf karena harus segera ke kamar mandi, mengundang decakan dari fotografer mereka yang terkenal sudah senior tapi tetap saja dibiarkan. Sepertinya fotografer paruh baya tersebut mengetahui kondisi Shou yang sedang tidak fokus, tapi tetap memberikan usahanya yang terbaik, sehingga dia pun meneriakkan break selama 5 menit kepada staf pemotretan, yang disambut Shou dengan anggukan hormat penuh rasa terimakasih.

Di depan pintu kamar mandi yang terletak di sudut studio, Shou menunggu sesaat. Dia mendengar ketukan pelan satu kali pertanda Angie sudah menunggunya di depan pintu, kemudian barulah membuka pintu kamar mandi tersebut. Di dalam, Shou langsung mengunci pintu dan mendengar bisikan Angie memanggilnya menuju wastafel. Kalungnya tiba-tiba muncul, terhampar menggantung di hadapannya.

“Terimakasih sekali, kau benar-benar penyelamat hidupku Invincible Girl! Tapi kenapa kamu harus menghilang sih? Kan merepotkan sekali jadi harus sembunyi-sembunyi seperti ini”

“Ceritanya nanti saja, aku capek sekali. Yang penting kamu cepatlah kembali ke studio dan tampil lah dengan prima seperti Shou yang mereka kenal. Aku melihat tadi kau seperti sedang stress, kerutan di keningmu itu lho”

Shou merasakan elusan jari Angie di keningnya, lalu menemukan dan menangkap tangan gadis tersebut dan menempelkannya di pipinya.

“Makoto ni arigatou ne?! My superhero..”

“Hihihi, kau sok formal sekali babe~”

Angie menempelkan sebelah tangannya yang lain di sisi pipi Shou yang satunya dan menarik pria itu mendekat, kemudian mengecup kening, kedua tulang pipi dan puncak hidung Shou.

“Semangat ya Shou-yan, aku mencintaimu”

Shou tersenyum sebagai balasan dan melihat handle pintu bergerak. Shou menyusul, membuka pintu studio seakan sedang mencari seseorang hingga mendengar jentikan pertanda Angie sudah keluar dan kembali menutup pintu. Kalungnya sudah terpasang dengan rapi dan kecupan Angie mengembalikan kepercayaan dirinya. Shou siap memuaskan lensa kamera yang sudah menunggu di sana bersama Tora

***

Malam sudah sangat larut. Nyaman dalam bungkusan pelukan Shou yang hangat dan selimut tebalnya, Angie mulai terbuai ke dalam mimpi. Semua letihnya terbayarkan. Di penghujung harinya, pelukan Shou adalah satu-satunya pelipur letihnya, fisik dan psikis. Angie masih merasakan bibir Shou yang menempel di pelipisnya, dan perlahan hanyut dalam tidurnya.

-owattenai-*

*****

Note :

Oji-san : Paman

Sekuhara : pelecehan seksual, berasal dari frasa sexual harassment.

Makoto ni arigatou : ungkapan terima kasih yang sangat tulus, maknanya lebih dalam daripada ‘hontou’. Biasa digunakan dalam percakapan formal.

(*) err…sepertinya…

Toktogi is on

Selepas 40 Hari : A thought of He who was a great one, Aldi Brangint

IMG_20150802_150830

“I leave you, to go to the road we all must go”

– The Tale of Genji

***

Sudah 40 hari, lebih malah. Duka sudah sangat berkurang jauh, tapi kadang masih terkenang. Abang, kakak, uda, adik, brader…bagi banyak orang yang dekat, sekedar kenal atau punya cerita spesial dengan beliau. Saya mungkin termasuk ke dalam golongan antara kelompok pertama dan kedua. Tidak dekat, tapi lebih dari sekedar kenal. Karena lingkungan beliau yang terlalu besar, saya tidak menempatkan posisi saya di salah satu dari tiga kelompok tersebut. Hanya saja banyak kenangan yang mungkin tidak seistimewa orang lain, tapi cukup membuat saya akan mengingat beliau untuk waktu yang sangat lama.

Ndeh, sakampuang wak mah yo?” ujar beliau di awal-awal perkenalan kami ketika saya menjadi salah satu dari sekian banyak junior beliau.

Tidak. Saya bukan orang Bukittingi dan beliau tidak lahir di Nagari Pasia. Kami jadi “sakampuang” karena beliau pernah menimba ilmu di Nagari Pasia yang merupakan tempat kelahiran orang tua laki-laki saya. Jadi teknisnya kami sama sekali tidak berasal dari nagari yang sama. Hanya saja kesan itu begitu kuat bagi saya yang baru saja menjadi bagian dari lingkungan beliau, hingga saya menambahkan beliau ke dalam daftar abang dan kakak saya yang baru. Ditambah lagi beliau yang menjadi bagian di banyak lingkungan saya di kemudian hari. Itulah yang membuat saya menulis tentang beliau, kali pertamanya yang saya lakukan, agar tetap mengingat beliau untuk waktu yang lebih lama lagi.

Beliau yang sangat berbakat dalam banyak hal pernah membuat seseorang terlihat sedang cemburu. Hanya karena saya bilang, “Bang Brangin bikin lagu lho, enak lagunya. Untuk pacarnya”. Mungkin saya memang seakan memprovokasi. Tapi itu murni bentuk pujian. Dan tetap saja setelah itu tidak ada lagu untuk saya.

Beliau menemani saya yang datang cukup jauh dari Padang untuk menghabiskan waktu di kampus kedua beliau hingga saatnya saya kembali, walaupun yang saya cari bukan beliau. Saya sering bertemu beliau sebelumnya di Padang, tapi kali pertama saya diajari gendang malah ketika saya sudah menempuh perjalanan dua setengah jam untuk berkunjung. Bukan mengunjungi beliau malah. Ironis?

Saya merasakan bagaimana tidak enaknya ketika dibanding-bandingkan dengan saudara sendiri. Dan itulah yang terjadi pada adik beliau. Sampai sekarang saya masih merasa menyesal karena pernah melakukan hal yang sama. Saya penasaran, apakah rasa tidak enak karena dibanding-bandingkan akan sebesar rasa kehilangan itu sekarang?

Dan masih banyak hal-hal kecil yang mungkin akan terasa remeh untuk orang lain jika saya tuangkan di sini. Biarlah hal-hal kecil yang berharga itu menjadi pengingat saya akan beliau hingga waktu menggerus duka dan memori. Semoga saja tidak.

You leave us, to the road we all must go. Sayonara, Bang!