Musim gugur kembali menjelang. Saat-saat dalam setahun yang sangat dia sukai. Cuaca yang cukup dingin sangatlah menyebalkan karena membuat bibirnya sering pecah-pecah. Tapi semuanya tergantikan dengan warna-warna kesukaannya di mana-mana. Semua daun berubah kuning, merah dan coklat. Dan dia bisa bermain di gunungan daun kering yang dikumpulkan di sudut taman oleh petugas kebersihan. Dia selalu bermain di taman kecil itu, dekat sekolah dasar Meishi. Tempat yang selalu dia perhatikan dari kejauhan. Dia ingin sekali kesana, belajar bersama anak-anak lain dan bermain. Sepak bola, dodge ball, bertukar kartu mainan, bernyanyi dengan iringan piano, dan hal-hal menyenangkan lainnya. Tapi dia hanya bisa mendengar suara sayup-sayup koor anak-anak yang sedang berlatih paduan suara, teriakan-teriakan riang saat bermain di lapangan, atau melihat mereka berhamburan keluar dari gerbang sambil tertawa-tawa. Andai saja…
Dia menyeberangi taman dan mendekati pagar kawat yang memisahkan jalan dengan halaman sekolah. Menatap gerombolan anak-anak yang sedang berlari-larian di lapangan, matanya berubah sayu penuh kerinduan. Andai saja…
Dia lalu berjalan tersaruk-saruk menuju ujung taman, ke arah jalan pulang. Hingga dia mendengar suara yang indah dari balik tanaman perdu pembatas taman. Dia melongok, melihat puncak kepala berbalut topi kupluk berwarna merah coklat muda, dan sejumput rambut pirang yang mencuat pinggiran topi. Suara yang dihasilkan orang itu indah sekali, berpadu dengan sesuatu yang dia mainkan. Membuatnya penasaran dan berlari-lari kecil memutari taman menuju tempat orang itu duduk bersila.
Ternyata dia memainkan sebuah benda yang kalau tidak salah bernama gitar. Irama yang dihasilkan benda itu sangat menyenangkan. Membuatnya duduk bersimpuh di hadapan orang itu, seorang pria muda yang tersenyum ramah padanya sambil tetap melanjutkan nyanyiannya. Dan tetap begitu sampai pria itu akhirnya selesai menyanyi.
“Hai adik kecil, kau suka nyanyianku?” tanya pria itu. Dia menjawab dengan anggukan penuh semangat.
“Siapa namamu? Kau tinggal di dekat sini?”
Dia lalu meraih tangan pria itu dan menuliskan namanya di telapak tangan yang lembut itu dalam huruf hiragana.
Haruki. Yoroshiku onegaishimasu. Shaberitai kedo shaberanai yo.[1]
Pria itu tercenung menatapnya yang menyembulkan cengirannya, lalu membalas dengan senyuman lebar sambil mengacak-acak rambutnya.
“Aku Miya. Yoroshiku na, Haruki-chan[2]!”
***
Sejak hari itu, Haruki punya tempat bermain baru selain pojokan taman. Ketika Haruki mendengar suara gitar dari kejauhan, artinya Miya sudah bertengger di trotoar tempat dia biasa duduk sambil memainkan gitarnya. Miya bilang dia mengamen karena dia tidak punya pekerjaan sementara untuk beli kopi kaleng harus pakai uang. Saat mendengarnya, Haruki langsung mengeluarkan uang 100 Yen yang diberikan ibunya untuk jajan agar Miya bisa membeli sekaleng kopi. Tapi Miya hanya tertawa sambil mengacak-acak rambutnya – ngomong-ngomong Miya senang sekali mengacak-acak rambut – dan menyuruhnya menyimpan kembali uang tersebut. Miya bilang dia tidak mau mengambil uang temannya.
Miya bahkan mengajarinya bermain gitar setelah lelah menyanyi. Haruki bisa menghabiskan berjam-jam duduk bersama Miya, kadang sampai ibunya datang mencarinya hingga ibunya pun mengenal pria muda yang periang itu. Seperti sore itu, saat suhu musim gugur semakin turun dan uap mulai keluar dari hidungnya.
“Haru-chan, ayo pulang. Ibu sudah selesai memasak nabe[3] kesukaanmu. Selamat sore Miya-san, aku harus membawa Haru pulang sekarang. Terima kasih sudah menjaganya ya..” ujar Nyonya Morio.
“Iie[4], selamat sore Nyonya”
Haruki berdiri, kemudian menggoyang-goyang tangan ibunya dengan pandangan penuh arti.
“Hmm.. Baiklah, Ibu akan mengajak Miya-san juga,” ujar ibunya. “Nah, Miya-san. Haru ingin anda ikut serta makan malam bersama kami. Dia tidak suka lho kalau ajakannya ditolak”
“Eeh? Daijoubu desuka[5]?” Haruki dan Ibunya serentak mengangguk sambil tertawa. Hingga Miya pun akhirnya ikut serta pulang ke rumah mereka yang berada tidak jauh dari taman untuk makan malam bersama.
Makan malam sederhana itu hanya dihadiri oleh Haruki, ibunya dan Miya. Selama makan malam, Nyonya Morio banyak bercerita, sambil ditimpali dengan bahasa isyarat Haruki yang kemudian di terjemahkan oleh ibunya. Membuat Miya mengetahui banyak hal tentang keluarga kecil itu.
Haruki yang sudah berumur 13 tahun sebenarnya bukanlah tuna wicara alami. Anak itu mengalami kekerasan sejak kecil oleh ayahnya, yang juga menimpa ibunya hingga membuatnya berhenti bicara di umur empat tahun. Dua tahun setelah Haruki mengalami disphasia[6], Nyonya Morio membawanya kabur dari rumah mereka nun jauh di Aomori ke Fukuoka, tempat mereka hidup sekarang. Haruki tidak mau masuk sekolah khusus anak-anak cacat, hingga dia hanya belajar di rumah saja dengan ibunya. Menulis dan membaca hiragana serta sedikit kanji, dan sedikit berhitung.
Miya balas bercerita perihal ketertarikan Haruki akan gitar, sehingga Miya selalu membiarkan Haruki memainkan gitarnya ketika Miya istirahat. Dan bahwa permainan gitar Haruki sekarang sudah cukup bagus. Anak itu cepat menangkap kord yang dimainkan Miya, dan Miya pun akhirnya dengan cermat mengajari Haruki.
Mereka berbincang cukup lama hingga Miya pun pamit karena sudah larut malam, dan Haruki menuliskan di telapak tangan Miya kalau dia akan kembali ke taman besok untuk belajar gitar seperti biasa.
***
Hari demi hari, Haruki semakin akrab dengan pria itu. Miya sampai berusaha belajar bahasa isyarat ssederhana agar dapat bercakap-cakap dengan Haruki. Sampai satu hari di penghujung musim gugur, sesuatu mengubah hidup anak itu, mungkin untuk selamanya.
Seperti biasa, Haruki bermain di taman, memperhatikan anak-anak yang bersekolah di SD Meishi, kemudian mendengar petikan gitar Miya dari kejauhan. Haruki dengan girang segera berlari menuju tempat Miya, disambut lambaian tangan oleh pemuda yang sudah dia anggap sebagai Aniki[7] itu. Haruki seperti biasa duduk di sebelah Miya yang sedang bernyanyi sambil mengangguk berterima kasih kepada orang yang melemparkan uang. Hingga Miya menyanyikan sebuah lagu sendu yang pasti dia nyanyikan setiap hari. Dan Haruki sangat menyukai lagu itu. Tanpa Haruki sadari, Miya memperhatikan dari sudut matanya, Haruki yang tampak sangat menikmati lagu ciptaannya sesekali menggoyangkan kepalanya dan bersenandung. Suara indah yang tak disangka-sangka, walaupun hanya senandung putus-putus mengikuti irama lagu yang Miya nyanyikan. Hal itu membuat Miya bertekad akan membantu Haruki kembali bicara, agar Haruki merasakan indahnya masa kanak-kanak bermain bersama teman sebaya dan bersekolah dengan normal. Miya meneguhkan hatinya untuk membantu Haruki kembali normal seperti sedia kala.
“Ne Haru-chan. Aku mau beli kopi. Kau mau jus apel?” tanya Miya yang dijawab dengan anggukan penuh semangat dari Haruki.
“Yosh! Kau tunggu ya, aku mau ke mesin di seberang situ, pilihannya lebih banyak” ujar Miya sambil menunjuk mesin minuman otomatis di seberang jalan. Haruki menjawab dengan acungan jempol.
Miya tertawa, kemudian menyeberang dengan tergesa dan detik berikutnya terpelanting beberapa meter setelah sebuah mobil yang melaju kencang menghantam sisi tubuhnya.
“Miya-saaaaaaaan!!”
Semuanya terasa samar-samar, namun Miya dengan jelas mendengar seseorang meneriakkan namanya dengan keras. Sebuah suara cadel yang tertahan, tapi cukup jelas. Miya masih sempat tersenyum sebelum semuanya menjadi gelap.
***
Kepala bocah itu muncul dari balik pintu, diikuti cengiran lebarnya. Miya tersenyum lemah, merasakan denyutan di wajahnya saat memaksa senyuman itu muncul. Sebelah wajahnya tergores aspal, ditambah tiga buah tulang rusuk yang patah, tulang pinggang bergeser dan retak di tulang panggul sampai paha akibat tabrakan yang cukup keras. Semuanya di bagian kiri tubuhnya kecuali luka gores di wajah.
Haruki melambaikan tangan kanannya sementara tangan kirinya menenteng sebuah gitar. Ini adalah hari ke duabelas Miya di rawat di rumah sakit dan dia mulai bosan. Walaupun Haruki datang menjenguknya setiap hari. Tapi Miya sudah kangen dengan gitarnya, dan bernyanyi di pinggir jalan. Oleh karena itu ketika Nyonya Morio menjemput Haruki setelah anak itu menemaninya sesiangan, Miya berpesan agar Haruki membawakan gitarnya. Seperti biasa, dengan menulis di telapak tangan anak itu.
Miya sebenarnya merasa sangat sedih, karena Haruki kembali diam setelah kejadian hari itu. Hingga dia merasa itu hanyalah mimpi. Saat Haruki meneriakkan namanya.
“Yo Haru-chan,” ujar Miya saat Haruki akhirnya duduk di sampingnya. Gitar yang dia bawa di senderkan di sofa tunggal yang diletakkan di kamar itu.
“Ada kabar apa hari ini?” tanyanya pelan. Haruki menjawab dengan gelengan.
“Hora[8] Haru-chan.. Hey, aku tahu lho”
Haruki menatapnya dengan pandangan ingin tahu.
“Kau mungkin tidak akan menyangkanya. Tapi aku mendengarmu memanggil namaku lho”
Miya dapat melihat perubahan drastis pada raut wajah Haruki. Bocah itu tersenyum getir, memalingkan wajahnya menatap sesuatu di kejauhan melalui jendela.
“Ne, Haru-chan?” panggil Miya. Haruki kembali menatapnya. Miya terenyuh melihat binar yang meredup di mata anak itu.
“Aku hidup sendiri sejak umur delapan belas. Aku juga lari dari rumah lho. Sejak ayahku meninggal, ibuku sering mabuk dan membawa laki-laki ke rumah. Hampir setiap malam, selalu saja orang yang berbeda..”
Miya berhenti sejenak, melihat reaksi Haruki. Anak itu memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Miya pun melanjutkan ceritanya karena merasa Haruki tertarik akan ceritanya.
“Saat aku masih kecil, kupikir aku punya banyak ayah. Aku menganggap semua laki-laki yang datang ayahku. Oleh karena itu aku selalu menyambut mereka setiap kali ada yang datang. Tapi tidak semuanya bersikap baik padaku. Bahkan ada yang menendangku karena merasa terganggu, dan ibu hanya diam saja. Hingga aku sudah masuk sekolah, dan sering diledek oleh teman-temanku karena punya ibu seorang pelacur. Pada awalnya aku tidak tahu apa maksud mereka. Kupikir mereka hanya iri karena aku punya banyak ayah. Tapi lama kelamaan aku tahu sendiri, dan mulai marah kepada ibu. Aku sangat marah dan sering bertengkar dengannya, walaupun dia sangat menyayangiku dan selalu berusaha menyenangkanku….,” ucapan Miya terhenti saat Haruki meraih tangannya dan menulis disitu.
“Aku sayang ibuku. Miya-san bagaimana?” Miya menatap di kedalaman mata bocah itu, kemudian mengangguk.
“Tentu saja. Aku sangat mencintai ibuku, karena dia juga begitu. Tapi aku harus pergi dari rumah, karena keberadaanku hanya akan mengganggunya”
“Tapi dia pasti kesepian”
“Tentu saja, aku juga kesepian. Oleh karena itu aku selalu berusaha membuatnya tidak kesusahan. Tapi itu cerita lama, Haru-chan”
“Hmm..?”
“Ibu sudah meninggal setahun lalu..”
Haruki menatapnya dengan pandangan terkejut. Begitupun Miya, yang selama ini belum pernah menceritakan tentang kehidupan pribadinya, tapi malah sangat terbuka kepada anak kecil itu.
“Ne[9], Haru-chan.. Aku ingin mendengarmu memanggil namaku sekali lagi. Dan ibumu, aku yakin dia merindukan mendengar suaramu. Aku yakin kau pasti bisa, Haru-chan” ujarnya. Haruki melengos. Wajahnya mengeras, sehingga Miya pun mundur. Dia harus berusaha pelan-pelan agar Haruki sedikit demi sedikit mau membuka hatinya dan kembali berbicara.
“Hey, kau sudah hapal lagu kesukaan kita kan? Coba mainkan gitarnya..” uar Miya. Haru mengangguk antusias, wajahnya kembali cerah.
***
Miya akhirnya diperbolehkan pulang. Menjelang siang, Miya sibuk membereskan barang-barangnya sendirian, karena tumben sekali Haruki tidak datang melihatnya dua hari terakhir. Biasanya bocah itu datang menemaninya di rumah sakit, pagi-pagi dengan diantarkan ibunya sebelum berangkat kerja lalu di jemput kembali setelah ibunya pulang kerja. Miya sudah menganggap Haruki sebagai adiknya sendiri, sehingga merasa sedikit kehilangan karena tidak dikunjungi.
Jam 1 siang perawat datang untuk membantunya menyelesaikan administrasi dan meneleponkan taksi. pada saat itulah Haruki muncul sambil menenteng sebuah gitar.
Saat Haruki masuk kamar, dia mengangkat gitar yang dibungkus dalam tas gitar tersebut tinggi-tinggi. Seakan ingin pamer. Miya melambai menyambutnya, lalu disuruh duduk oleh Haruki di sofa dengan isyarat perintah. Miya menurut, melihat Haruki mengeluarkan gitarnya. Miya berpikir Haruki pasti akan pamer dengan memainkan gitarnya, mungkin sebuah lagu yang sudah bisa dimainkannya agar Miya terkesan.
Miya mengenali petikan awal lagu tersebut sebagai lagu favoritnya yang juga menjadi favorit Haruki. Dan kejutan yang dia berikan adalah dengan menyanyikan reffrain lagu tersebut dengan terpatah-patah. Haruki nampak berusaha keras menyanyikan lagu tersebut sampai habis.
Miya tidak dapat membendung luapan emosinya yang pecah dalam bentuk tangisan. Dengan langkah tersaruk-saruk Miya menghampiri Haruki dan memeluknya erat hingga gitar Haruki yang baru terperangkap diantara mereka berdua.
“Okaerinasai[10], Haru-chan…”
-end-
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia dan Nulisbuku.com
Note :
[1] Salam kenal. Aku ingin bicara tapi aku tidak bicara.
[2] Panggilan yang biasa digunakan untuk anak kecil dan perempuan muda
[3] Sup sayuran dan daging yang dimasak dalam sebuah panci besar.
[4] Bukan apa-apa
[5] Tidak apa-apa?
[6] Salah satu jenis gangguan bicara yang terjadi akibat sebab selain kelainan fisik bawaan.
[7] Sebutan untuk kakak laki-laki tertua, umumnya digunakan oleh yakuza/anak geng
[8] Coba lihat aku
[9] Hey
[10] Selamat datang kembali